Minggu, 12 Agustus 2012

Guru Agama Hindu Dalam Posisi Dilematis




PENDIDIKAN agama di lingkungan keluarga amat penting, selain di sekolah. Khusus pendidikan agama Hindu di sekolah, berkaitan erat dengan kualitas guru agamanya. Berbicara kualitas guru agama Hindu dapat muncul segudang pertanyaan. Misalnya, apakah indikator yang dijadikan tolok ukur untuk mengukur kualitas guru agama Hindu? Apakah kualitas dimaksud menyangkut kualitas proses pembelajaran, kualitas lulusan, atau kompetensi dan profesionalisme guru?

 Pilliang (2005:335) mengatakan, masuknya sistem kapitalisme ke dalam sistem pendidikan telah menciptakan kondisi bertautnya logika pendidikan dengan logika kapitalisme. Tanpa banyak yang menyadari, pendidikan kemudian menjelma menjadi mesin kapitalisme, yakni mesin untuk mencari keuntungan. Pendidikan juga menjadi mesin citra kapitalisme, yakni mesin yang mampu menciptakan citra-citra (lembaga, individu, dan pengetahuan) yang sesuai dengan citra kapitalisme. Kondisi tersebut menyebabkan posisi guru agama umumnya menjadi dilematis.

Di satu sisi, jabatan guru diposisikan sebagai profesi yang dimuliakan, dihormati layaknya para pahlawan bangsa, di sisi lain penghargaan guru dari aspek material belum dapat dikatakan wajar sesuai profesi, posisi, dan martabatnya. Maka, sangat logis apa yang dikatakan Bambang Sudibyo (2007:19) bahwa tatanan baru  dalam sistem ekonomi dewasa ini pelan-pelan telah menggeser tatanan sosial termasuk tatanan dalam kehidupan dunia pendidikan. Artinya, masuknya sistem ekonomi pasar ke dalam sistem perekonomian Indonesia membuat gengsi atau martabat kelembagaan sosial, individu, dan apa pun namanya termasuk guru agama, akan menurun, jika mereka tidak bisa mengadaptasi sistem ekonomi pasar.

 Merupakan keniscayaan, ketika di satu sisi kita menuntut kualitas guru agama, khususnya Agama Hindu, di sisi lain terhadap nasib guru, termasuk guru agama Hindu yang masih tetap terpinggirkan, hingga saat ini kita bersikap permisif. Secara teks ideal kita bisa saja berbicara kualitas guru agama dengan berbagai indikatornya (kualitas guru agama Hindu sebagai harapan). Namun, di sisi lain kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi nyata kehidupan guru bersama keluarganya  yang sering mengalami kesulitan untuk menghindarkan diri dari jeratan  dunia kapitalis, sementara  gaji yang mereka peroleh cukup membuat hati kita merasa miris (kualitas guru agama Hindu dalam kenyataan).     

 Selain itu, ketika mengukur kualitas guru agama Hindu dari kualitas lulusan yang dihasilkan, kita juga bisa terjebak pada pengukuran yang bersifat pseudo. Sebab, kualitas lulusan dilihat dari sisi kognisi, afeksi, dan psikomotor  anak, tidak semata-mata ditentukan kualitas gurunya. Jadi, banyak faktor yang berpengaruh. Salah satunya, bagaimana pandangan siswa dan orangtuanya terhadap mata pelajaran agama Hindu. Secara faktual sampai detik ini, masih banyak siswa termasuk orangtuanya yang memandang pelajaran agama Hindu sebagai mata pelajaran yang tidak begitu penting bagi masa depannya sehingga dalam belajar agama Hindu mereka tidak intensif. Maka, jangan ujug-ujug menilai kadar wawasan agama yang kurang bagus di kalangan siswa, disebabkan kualitas guru agama Hindu yang kurang bagus.

 Berbicara masalah kualitas guru, termasuk guru agama, tidak lepas dari masalah pendidikan sebagai suatu sistem. Dunia pendidikan yang seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan, dan kebijaksanaan sebagai nilai dasar (Pilliang, 2005:355) kini telah dimuati nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan kebijakan pendidikan terhadap kekuasaan kapital. Sementara di sisi lain ketika pendidikan menjadi bagian inheren dari sistem kepitalisme, maka berbagai paradigma, metode, dan teknik-teknik yang dikembangkan di dalamnya akan menjadi sebuah cara untuk mengukuhkan hegemoni kapitalisme tersebut. 

 Berangkat dari gambaran itu, akan menjadi naip ketika kita menuntut kualitas guru agama, khususnya guru agama Hindu di satu sisi, tetapi di sisi lain sistem pengganjaran (reward system) yang diterima guru lebih banyak dalam bentuk pujian dibandingkan penghargaan dalam bentuk materi. Guru disanjung sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa’’ guru adalah jabatan mulia, guru perlu digugu dan ditiru, sementara dalam kenyataannya kehidupan guru dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan materialistis dan lahiriah. Dalam konteks ini jika kita ingin meningkatkan kualitas guru agama, termasuk guru agama Hindu, perlu ada semacam lembaga advokasi bagi jabatan guru, yang secara konsisten mau menyuarakan nasib guru.

 Kita tidak perlu mencari siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kondisi seperti itu. Yang lebih penting, bagaimana kita semua saling berusaha membangun dan mencari jalan yang terbaik untuk pembenahan sistem pendidikan kita secara holistik dan komprehensif. Dengan demikian tidak ada yang merasa kalah atau menang, dan tidak ada yang merasa salah atau benar.

•    Dr. I Ketut Suda, M.Si. [Dosen FIA Unhi Denpasar].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar